Tidak ada yang benar-benar baru di dunia ini.
Kalimat ini terdengar klise. Namun ia tetap eksis, sebab kenyataannya memang begitu. Bahkan industri kreatif yang paling mentereng pun berdiri di atas tumpukan replikasi, tiruan dan modifikasi.
Steve Jobs pernah mengutip kalimat yang populer di tahun 1996 pada seri dokumenter PBS Triumph of the Nerds. Katanya “Good artists copy, great artists steal.” yang teratribusi kepada Pablo Picasso.
Jika ditelusuri secara genealogis. Maka ditemukanlah versi-versi lain dari kutipan Pablo Picaso itu. Ada yang menuliskan “Bad artists copy, great artists steal”.
Lalu versi William Faulkner di tahun 1974, berdasarkan atribusi tercetak pada buku Design for the Stage: First Steps, tertera “Immature artists copy, great artists steal”. Ada pula tulisan dari Lionel Trilling menyatakan “Immature artists imitate, mature artists steal”.
Jejak gagasan serupa bahkan bisa ditelusuri hingga ke catatan kritikus musik Peter Yates dalam bukunya Twentieth Century Music (1967) bahwa ia mengutip dari perkataan Igor Stravinsky, “A good composer does not imitate, he steals. Lesser artists borrow, great artists steal”.
Dan ketika kita mundur lebih jauh, T.S. Eliot pernah lebih dulu menuliskannya dengan diksi yang sedikit berbeda, tentang penyair yang buruk, penyair yang baik.
Immature poets imitate; mature poets steal; bad poets deface what they take, a better, or at least something different. The good poet welds his theft into a whole of feeling which is unique, utterly different from that from which it was torn; the bad poest throws it into something which has no cohesion. A good poest will usually borrow from authors remote in the time, or alien in language, or diverse in interest.
- T.S. Eliot (1920)
Sebelumnya juga masih ditemukan tulisan dari W.H. Davenport Adams (1892) yang menyatakan “Great poets imitate and improve, whereas small ones steal and spoil”.
Intinya jelas. Bahkan kutipan dari tokoh populer tentang menyontek pun adalah hasil contekan dari penulis-penulis sebelum mereka. Semua orang menyontek, itulah kenyataannya.
Di titik ini, banyak orang tergoda untuk mengambil kesimpulan dengan tergesa. Jika semua orang meniru, berarti tidak ada yang salah dengan menyontek karya orang lain. Jika para tokoh besar mengakui “pencurian ide”, berarti kita pun sah untuk melakukan hal serupa tanpa beban moral.
Namun barangkali masalahnya bukan pada fakta bahwa kita semua meniru. Masalahnya ada pada cara kita meniru. Tentu meniru tidak otomatis salah. Tetapi mencuri jelas salah.
Keduanya tampak berdekatan, namun sebetulnya berbeda kelas.
Plagiarisme adalah penggunaan ide, struktur, atau ekspresi orang lain seolah-olah itu lahir dari kepala kita, tanpa transformasi yang memadai dan tanpa atribusi terhadap sumber. Ini bukan sekadar kesalahan teknis semata; Boleh jadi ini cacat etik.
Sementara itu, belajar dengan meniru adalah proses kreatif yang paling manusiawi. Kita belajar berbicara dengan meniru. Kita belajar berjalan dengan meniru. Kita belajar menulis dengan meniru. Tidak ada orang yang langsung menjadi dirinya sendiri tanpa melewati fase meniru “orang lain” terlebih dulu.
Yang menentukan kualitas kita bukan apakah kita meniru, melainkan apa yang kita lakukan setelah meniru.
Jika kita meniru dari satu sumber dan menyalinnya hampir utuh, itu sudah plagiarisme.
Jika kita meniru dari banyak sumber, menyilangkannya, lalu membentuk struktur baru yang punya alur sendiri, artinya kita sedang melakukan riset.
Jika kita menyerap lebih luas lagi sumber yang dijadikan referensi dan menghasilkan sesuatu yang memunculkan rasa baru, bukan sekadar bentuk baru. Maka inilah kita sedang menuju orisinalitas.
Bukan karena jumlah sumbernya yang menajdi penentu. Tetapi karena proses mental dan eksekusinya berubah.
Ada seni yang sering diabaikan orang ketika membicarakan kreativitas: transformasi.
Austin Kleon menyederhanakan hal ini melalui gagasan Steal Like an Artist. Kalau kita menanggalkan istilah “steal” yang provokatif itu, inti pesannya tetap sehat: kreativitas bukan dari ruang hampa; ia lahir dari kombinasi pengaruh yang diolah secara sadar.
Kita bisa merumuskannya menjadi tiga langkah praktis:
- Copy
- Transform
- Combine
Banyak orang berhenti di langkah pertama. Mereka menggemari hasil karya seseorang, lalu menyalinnya tanpa bertanya apa yang membuat karya itu bernyawa. Lebih serius, mereka menyalin bukan untuk belajar, tetapi untuk menggantikan proses berpikir.
Banyak orang ingin menjadi “orisinal” terlalu cepat. Mereka menunggu inspirasi yang murni, ide yang belum pernah disentuh siapa pun, dan karya yang benar-benar bebas dari pengaruh.
Masalahnya, standar itu tidak realistis. Lebih buruk lagi, standar itu sering menjadi alasan yang terdengar intelektual untuk menunda.
Mulai saja dulu.
Sekali lagi tidak ada yang benar-benar orisinal di dunia ini. Semua hal hasil karya manusia bisa ditelusuri sumber sebelumnya secara genealogis.